Penguatan Ilmu Sosial Indonesia dengan Pendekatan Sosial Profetik


MAKALAH TEORI SOSIAL INDONESIA
Penguatan Ilmu Sosial Indonesia dengan Pendekatan Sosial Profetik
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si



Disusun Oleh :
M. Afdhol Mufti Alhakiki      17416241003

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teori Sosial Indonesia.
Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, bukan karena usaha dari saya selaku penulis, melainkan banyak mendapat saran dan bantuan dari berbagai pihak dan berbagai sumber. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu, baik itu dosen dan semua pihak dan sumber yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu saya selaku penulis makalah ini mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tugas saya selanjutnya.
            Demikian saya selaku penulis makalah, mohon maaf bila dalam pembuatan makalah ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

                                                                        Yogyakarta, 04 Desember 2018
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Penulis

                                                                          





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................3
B.     Rumusan Masalah..............................................................................4
C.     Tujuan Penulisan................................................................................4
D.    Manfaat Penulisan.............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Penguatan Ilmu Sosial Profetik..........................................................3
B.     Tujuan, Peran, Metode Dan Manfaat Ilmu Sosial Profetik................5
C.     Hubungan Ilmu Sosial Profetik Dan Sosial Kebangsaan Dan Tokoh Pengagasnya......................................................................................6
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................21
B.     Saran.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................23





BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali Syari’ati dalam Hilmy (2008:179) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada (Kuntowijoyo, 2001: 357).
Selanjutnya, Kuntowijoyo (2001:357) memasukan kata profetik kedalam penemuannya tentang ilmu-ilmu sosial profetik yang mengandung tiga muatan ilmu-ilmu sosial yaitu humanisme, leberasi, dan transendensi.
Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya:
Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah
Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu; 1) Amar Ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. 2) Nahi Munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. 3) Tu’minuna Bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia (Rosyadi, 2009:304).
Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan profetik menurut Kuntowijoyo (2001:360);

B.       Rumusan Masalah
a.       Bagaimana penguatan ilmu sosial Indonesia?
b.      Bagaimana peran Ilmu Sosial Profetik ?
c.       Bagaimana hubungan antara sosial profetik dan sosial kebangsaan ?

C.       Tujuan Masalah
a.       Untuk menjelaskan lebih mendalam mengenai Penguatan ilmu sosial profetik di Indonesia
b.      Untuk menjelaskan peran ilmu sosial profetik di masyarakat
c.       Untuk mengetahui gambaran hubungan Sosial profetik dan sosial kebangsaan

D.       Manfaat Penulisan
a.       Dapat mengetahui apa itu ilmu sosial profetik
b.      Dapat mengetahui peran ilmu sosial profetik di Indonesia
c.     Dapat mengetahui hubungan antara Sosial profetik dan sosial kebangsaan










BAB II
PEMBAHASAN


A.      PENGUATAN ILMU SOSIAL PROFETIK
Konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), yang menjelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat di artikan sebagai sikap bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (Ukhrijat Linnas) yang terwujud dalam sikap partisipatif umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan.Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat, kelompok/paguyuban) Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.
Selanjutnya, Shofan (2004:131) mengungkapkan konseptualisasi pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo dalam Shofan (2004:135) mengatakan bahwa cita-cita etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita–cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris.
Landasan pendidikan tersebut sekiranya diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan moral, hal ini lah konsep dasar sebuah pendidikan profetik yang dibutuhkan pada saat ini.
Sehingga disimpulkan bahwa, pendidikan profetik (Prophetic Teaching) adalah suatu metode pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi Muhammad saw. Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan integrasi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.
 Sebagai kekuatan pembebas, Pendidikan Islam berusaha untuk   membangun social capacityyang mengandung makna bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi (Rosyadi,2009:163).
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.


B.       TUJUAN, PERAN, METODE DAN MANFAAT ILMU SOSIAL PROFETIK
Hubungan berarti komunikasi, sangkut paut, sejalan, searah. Agama secara sempit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab berarti menundukkan, patuh menguasai, hutang. Ilmu pengetahuan secara bahasa yaitu seperangkat ilmu yang tersusun secara sistematis, dapat dimanfaatkan semua orang pada tempat yang sama maupun berbeda dengan hasil yang sama. Khurashid Ahmad berpendapat bahwa pengetahuan adalah seperangkat pengalaman, yang mengatur, memimpin mengarahkan kearah kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Kholiq.
Ilmu sosial adalah ilmu yang berhubungan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Termasuk ilmu sosial adalah seluruh kegiatan masyarakat mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas untuk kegiatan keperluan sesama manusia. Islam telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara hubungan manusia dengan manusia, antara urusan ibadah dan muammalah dalam arti luas. Keterkaitan agama dengan kemanusiaan menjadi penting, jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan pada zaman ini.
Allah berfirman dalam Alqur'an yang artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ayat diatas menunjukkan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal. Mengenal disini berarti agar antara manusia satu dengan yang lain melakukan hubungan atau bermuamalah, bekerja sama, saling tolong menolong, serta menciptakan kehidupan sosial yang baik.
Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka Kifartnya (tebusan) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Apabila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan Fidyah yaitu memberi makan orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya. Merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan sholat tahajud. Membunuh orang pada zaman Nabi maka dendanya ialah memerdekakan budak. Itulah pentingnya ilmu sosial dan sangat erat sekali dengan agama Islam.
Dalam keadaan demikian kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk untuk memiliki Ilmu Pengetahuan Sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut diatas. Ilmu Pengetahuan sosial yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai Agama.
Ilmu sosial mengalami kemandekan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, dibutuhkn ilmu sosial yng tidak berhenti pada menjelaskan fenomena sosial, tetapi dapat memecahkan secara memuaskan. Menurut Kuntowijoyo kita butuh ilmu sosial profetik: yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petujuk kearah mana tranformasi itu dilakukan, yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Yaitu yang berdasarkan tiga hal : cita-cita manusia, libersi, dan ketiga transendensi.
Tujuan pertama ialah memanusiakan manusia; seperti Industrialisasi yang kini terjadi kadang menjadikan manusia sebagian dari masyarakat abstrak tanpa wilayah kemanusiaan. Kita menjalani obyektifasi ketika berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin pasar, manusia telah menjadi bagian dari sekrup mesin yang tidak lagi menyadari keberadaanya secara utuh.
Kedua liberasi bertujuan pembebasan manusia dari kungkungan teknologi, dan memeras kehidupan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri. Ketiga tujuan transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Dan yang harus kita lakukan membersihkan diri dengan meningkatkan kehidupan pada dimensi transendentalnya.
Dengan ilmu sosial profetik kita di haruskan mempunyai pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu. Dengan ilmu sosial yang demikian maka umat islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahun yang terjadi saat ini dan juga meredam berbagai kerusuhan sosial dan tindakan kriminal. Fenomena kerusuhan tindakan kriminal, bencana kebakaran hutan, penyimpangan sosial, dan masaalah sosial lainnya bukan masalah yang berdiri sendiri, semua itu merupakn produk sistem dan pola pikir. Pemecahan terhadp masalah tersebut salah satu alternatif adalah dengan memberikn nuansa keagamaan pada ilmu sosial. Yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu sosial profetik.
Islam selalu membuka diri terhadap seluruh warisan kebudayan sejak beberapa abad yang lalu islam mewarisi peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang hampa hal tersebut dapat dipahami dari kandungan surat al-maidah ayat 3. kata "telah KU- sempurnakan agama-mu" mengandung arti bukan membangun dari ruang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada. Hal demikian dapat dilihat dari kenyataan sejarah semua agama dan peradapan mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Dalam bidang IPTEK Islam bukanlah agama yang tertutup. Islam adalah paradigma terbuka sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam mewarisi peradapan yunani dari barat dan peradaban persia, india, dan cina dari timur. Ketika abad VIII – XV peradaban barat dan timur tenggelam dan mengalami kemerosotan. Islam bertindak sebagai pewaris utama kemudian diambil alih oleh barat sekarang. Islam mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pertahanan Sasanid dan logika Yunani dsb.
Namun dalam proses penerimaannya itu terdapat dialektika internal. Mislnya untuk bidang pengkajian tertentu Islam menolak bagian logika Yunani yang sangat rasional, diganti dengan cara berfikir yang menekankan rasa seperti yang dikenal dalam Tasawuf. Al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam setting sosial  aktual, respon normatifnya mereflaksikan kondisi sosial aktual itu. Meskipun jelas bahwa al-Qur'an memiliki cita-cita sosial tertentu. Bukti sejarah memperlihatkan dengan jelas bahwa sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka akomodatif. Serta berdampingan dengan agama, kebudayaan, dan perdaban lainnya. Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang membwa korban yang tidak diharapkan. Dengan sifat karkteristik ajaran islam demikian itu maka melalui ilmu sosial yang berwawasan profetik Islam siap memasuki era globalisasi yang di tandai dengan adanya perubahan bidang ekonomi, teknologi, sosial informasi, dsb. Akan dapat diambil dengan sebaik-baiknya.
Islam mempunyai perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah sosial. Untuk itu maka kehadiran ilmu sosial yang hanya membicarakn tentang manusia tersebut dapat diakui oleh Islam. Namun islam mempunyai pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang dikembngkan yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran islam dan diarahkan untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Rosyadi (2009:170) mengungkapkan bahwa selain sebagai pendorong agama dan ahlak tujuan pendidikan profetik juga mempunyai tujuan khusus yaitu diantaranya:
1.                  Memperkenalkan generasi muda akan akidah-akidah islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya dengan betul, dengan membiasakan mereka berhati-hati, mematuhi akidah-akidah agama dn serta menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama.
2.                  Menumbuhkan kesadaran yang betul pada pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar ahlak mulia. Juga membuang bid’ah-bid’ah, khurafat, kepalsuan-kepalsuan, dan kebiasaan-kebiasaan usang yang melekat kepada islam tanpa disadari, padahal islam itu bersih.
3.                  Menambah keislaman kepada Alla pencipta alam, juga kepada malaikat, rosul-rosul, kitab-kitab, dan hari akhir berdasar pada faham kesadaran dan keharusan perasaan.
4.                  Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambahkan pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan agar patuh mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5.                  Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur’an, berhubungan dengannya, membaca dengan baik, memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6.                  Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.
7.                  Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, perjuangan untuk kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air, serta siap membelanya.
8.                  Mendidik naluri, motivasi, keinginan generasi muda, dan membentengi mereka menahan motivasi-motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka, berpegang dengan adab kesopanan pada hubungan dan pergaulan mereka, baik di rumah, di sekolah, di jalan atau pada lain-lain tempat lingkungan.
9.                  Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka, menguatkan perasaan agama, menyuburkan hati mereka dengan kecintaan, dzikir dan taqwa kepada Allah.
10.              Membersihkan hati mereka dari dengki, iri hati, benci, kezaliman, egoisme, tipuan, khianat, nifaq, ragu, perpecahan dan perselisihan.
Dalam rangka mencapai tujuannya maka pendidikan profetik menggunakan beberapa metode, menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1992) dalam Rosyadi (2009:216), sebagai berikut:
1. Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi
Hiwar artinya percakapan silih berganti antara dua pihak melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada suatu tujuan. Dalam Al Qur’an dan sunnah terdapat lima jenis hiwar diantaranya:
a. Hiwar khitabi atau ta’abbudi (percakapan pengabdian).
Dalam hal ini, hiwar yang dilakukan yaitu dalam bentuk doa, membaca al Qur’an, tasbih, dll.
b. Hiwar washfi (percakapan deskriptif)
Hiwar ini menjelaskan bagaimana suatu hal itu terjadi diterangkan secara deskriftif seperti orang yang masuk surga atau orang yang masuk neraka.
c. Hiwar qishashi (percakapan berkisah)
Hiwar ini terdapat dalam sebuah kisah yang baik bentuk rangkaian ceritanya sangat jelas, yaitu hiwar yang merupakan anasir kisah di dalam al Qur’an.
d. Hiwar jadali (percakapan dialetik)
Hiwar ini melahirkan sebuah diskusi atau perebatan yang bertujuan untuk memantapkanhujjah kepada para peserta diskusi. Sehingga implikasinya mendidik anak bersemangat menegakkan kebenaran, menjauhkan dari sifat-sifat batil, pikiran-pikiran musyrik dan munkar.
e. Hiwar nabawi .
Hiwar nabawi ini erat kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh Rasullulah SAW, karena beliau adalah salah seorang pendidik yang mahir dan pandai dalam melakukan beberapa metode pendidikan islam.
Mendidik dengan kisah Qurani dan Nabawi
Dalam pendidikan islam, kisah merupakan fungsi edukatif yang tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan bentuk penyampaian lain selain bahasa. Hal ini di sebabkan karena kisah Qurani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang mempunyai dampak psikologis dan edukatif.
2. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
Perumpamaan dalam pendidikan islam sering digunakan biasanya perumpamaan yang digunakan berasal dari cerita di al Qur’an ataupun dari kisah nabi, misal perumpamaan seorang yang berbuat baik, maka akan mendapatkan pahala.
3. Mendidik dengan memberi teladan
Keteladanan adalah sangat penting bagi berlangsungnya suatu proses pendidikan. Hal ini menekankan kepada setiap pendidik harus berprilaku baik dan selalu meneladani sifat-sifat rasul sehingga peserta didik pun akan segan dan akan meneladani sikap.
4. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
Mendidik dengan latihan dan pengalaman dapat menggugah ahlak yang baik pada jiwa anak didik, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam perbuatan dan pekerjaan.
5. Mendidik dengan mengambil Ibrah (pelajaran) dan mau’izhah (peringatan)
Makna ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Sedangkan, mau’izhah ialah nasehat yang lembut dapat diterima oleh hati dengan cara mencelaskan pahala atau ancamannya.
6. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Targhib ialah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat orang senang terhadap suatu maslahat, kenikmatan atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik, serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi kenikmatan sepintas yang mengandung bahaya atau perbuatan buruk. Sedangkan, tarhibialah ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah SWT, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Sekiranya metode tersebut dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran akan membuat anak didik menjadi orang yang berahlakul karimah atau berahlak mulia seperti Rasulluah SAW.
Sementara itu, menurut Cecep Darmawan (2006:94), metode dalam pembinaan dan pelatihan karyawan yang berbasis profetik sebagai berikut:
1. Metode Tilawah
Metode ini memilik makna membaca. Metode ini diarahkan untuk membaca al Qur’an. Dengan begitu akan terciptanya pembudayaan membaca al Qur’an.
2. Metode Taklim
Metode ini berartikan proses pengajaran. Taklim disini dalam arti pemahaman kita dalam proses tranfer dan tranformasi dari pihak pertama kepada pihak kedua. Sementara itu dalam konsep pembinaan maka dalam kaitannya pembekalan teori, nilai-nilai, kiat-kiat sukses, kiat kinerja produktif, aturan, atau tata tertib yang berlaku pada lingungan perusahaan.
3. Metode Tazkiyyah
Kata tazkiyyah berasal dari kata “zaka” yang berarti tumbuh kembang atau penyucian. Konsep ini kita maknai sebagai satu kemampuan memisahkan atau membersihkan. Implikasinya adalah memberikan pelatihan dan pendidikan kepada karyawan dengan tujuan untuk melakukan eliminasi perilaku-perilaku buruk.
4. Metode Hikmah
Konsep hikmah, ditujukan untuk menunjukan pengetahuan filosofis sehingga orang yang berfilsafat disebut ahli hikmah.


C.      HUBUNGAN ILMU SOSIAL PROFETIK DAN SOSIAL KEBANGSAAN DAN TOKOH PENGAGASNYA
Dalam   Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai  dengan  semangat  liberalisme Barat. Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri.

Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran  dan  kepalsuan,  untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa   bagi   dirinya   sendiri.   Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam  raya  pun  lalu  menjadi  sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan   dan   eksploitasi   atas   alam tanpa batas. Modernisme dengan panji- panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu   akal   adalah   ilmu   perang   yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya Cogito Ergo Sum”.
Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin- mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi,  yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi (Titus, 1990).
Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi  teknologis,  ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi) (Kuntowijoyo, 1984).
Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai  ideologi  sebagaimana komunisme.  Liberasi  Ilmu  Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam   konteks  ajaran   teologis,   maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik    dipahami    dan    didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran   semangat   liberatifnya   pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak,  tapi  pada  realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran  liberasi,  yaitu  sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia (Kuntowijoyo, 1997).
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik.
Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi,  masyarakat  akan dibebaskan dari kesadaran materialistik- di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

Dari tiga pilar diatas, maka Kuntowijoyo   menggiring   umat   Islam pada orientasi ilmu-ilmu sosial yang berparadigma  Profetik.  Dengan demikian kita dapat menggariskan beberapa hal
Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya  yaitu  humanisasi,  liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian.
Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
Ketiga, secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi).
Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritis (teori kritis). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras  dengan  kepentingan emansipatoris sosiologi kritis. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi   sebagai   salah   satu   nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi.
Keempat, sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran  (superstructure)  menentukan basis  material  (structure)  (Kuntowijoyo,
1991).
Barangkali yang menyebabkan Sosiologi Profetik menjadi problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga mengakui wahyu  sebagai  bagian  sah  dari sumber pengetahuan. Kontroversial, karena ilmu sosial modern sudah terlanjur mencampakkan wahyu dalam kategori mitos atau metafisika yang tidak mempunyai dasar empiris.

Problematis, karena ide ini dapat saja serta merta dipahami oleh para penganutnya dalam perspektif teologis- normatif, sehingga kita akan susah membedakan mana sosiologi mana teologi, mana empiris mana normatif.
Hubungan antara nilai dengan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam setiap tindakan pendidikan, baik dalam      memilih      maupun      dalam memutuskan setiap hal untuk kebutuhan belajar. Melalui  persepsi  nilai,  pendidik dapat mengevaluasi peserta didik. Demikian pula peserta didik dapat mengukur kadar nilai yang disajikan pendidik dalam proses pembelajaran. Masyarakat juga dapat merujuk sejumlah nilai   (benar-salah,   baik-buruk,   indah- tidak indah) ketika mereka mempertimbangkan  kelayakan pendidikan yang dialami anaknya.
Lembaga  pendidikan  memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas dan berakhlak mulia. Terpenuhinya kedua kriteria itu memungkinkan terwujudnya nilai kehidupan sosial yang ideal, yang memiliki semangat kebersamaan, menghindari konflik sosial, mengembangkan potensi diri, dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, serta keselamatan umat manusia pada umumnya (Fadjar, 1999).
Hal tersebut menunjukkan bahwa peran pendidikan dalam pembentukan dan penanaman nilai terhadap peserta didik sangat menentukan kehidupan mereka.
Tanpa pendidikan, nilai sangat sulit untuk ditemukan atau didapatkan. Oleh   karena   itu,   fungsi   pendidikan adalah untuk menanamkan nilai-nilai (yang baik) kepada peserta didik (bukan hanya  transfer  pengetahuan) sebagaimana yang popular selama ini. Pengetahuan tanpa memahami nilai cenderung    melahirkan    konflik,    baik antar-kelompok agama, budaya, wilayah, maupun antar-institusi.
Konflik-konflik yang muncul di tanah air akhir-akhir ini sangat terkait dengan aspek sosial, budaya, dan agama. Menurut penulis, hal ini disebabkan lemahnya peran pendidikan yang menanamkan nilai kebersamaan dan solidaritas sosial dalam era pluralitas.

Untuk memahami nilai-nilai pendidikan profetik, terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian nilai. Istilah nilai memiliki banyak pengertian, tergantung dari sudut pandang mana seseorang memahami. Sosiolog, antropolog, psikolog, ekonom, serta politisi mempunyai persepsi dalam memaknai nilai. Pada intinya, memahami nilai itu bersifat subjektif. Dalam tulisan ini, nilai diartikan sebagai penentu seseorang dalam melakukan suatu tindakan  yang  positif  atau  nilai  dapat juga disebut perilaku moral.
Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan suatu pilihan (Mulyana,   2004).   Oleh   karena   nilai sebagai rujukan dalam bertindak, maka setiap orang harus memperhatikan lebih mendalam agar hati-hati dan berpikir rasional sebelum mengambil tindakan. Seseorang yang bertindak tanpa dasar rujukan yang kuat dapat dianggap tidak memiliki dan memahami nilai moral.
Menurut Judy Lawly (2000), nilai merupakan pedoman kepercayaan yang mendalam   mengenai   suatu   hal   yang penting. Nilai secara langsung mempengaruhi perilaku dan tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat dan latar belakang keluarga.
Schwartz (2002) mendefinisikan “values as goals and motivations which serve as guiding principles in people’s lives. Artinya, nilai sebagai tujuan dan motivasi yang berperan  sebagai  prinsip-prinsip petunjuk dalam kehidupan manusia. Apabila nilai telah mempribadi dalam kehidupan seseorang, maka akan tampak dalam pola-pola sikap, niat dan perilakunya.
Sedangkan menurut Merril (dalam Koyan, 2000), nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang  atau  kelompok ke  arah  “satisfaction,fulfillment,  and meaning. Patokan, kriteria, prinsip- prinsip, dan ukuran yang memberi dasar pertimbangan  kritis tentang  pengertian, estetika, kewajiban moral, dan religius.
Jadi, nilai-nilai pendidikan adalah nilai-nilai yang harus ditanamankan dan dikemmbangkan pada diri seseorang. Mardiatmaja mengemukakan nilai-nilai pendidikan sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Dengan demikian, nilai-nilai pendidikan tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah      mata      pelajaran,      tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Dalam hal ini, yang menanamkan nilai kepada peserta didik bukan saja guru pendidikan nilai dan moral serta bukan saja pada saat mengajarkannya, melainkan kapan dan di manapun, nilai harus menjadi bagian integral dalam kehidupan.
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu definisi nilai-nilai pendidikan mencakup keseluruhan aspek pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar memiliki   modal   nilai   yang   menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupannya.  Dengan  demikian, mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan, kebersamaan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
Penekanannya terletak pada peran pendidikan sebagai transformasi nilai sehingga menjadi bagian yang integral dalam  diri  peserta  didik.  Dengan memiliki  nilai  moral,  maka  segala tindakan peserta didik akan terkontrol karena dilakukan dengan pertimbangan nilai yang matang.



BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Pendidikan Islam sebenarnya tidak terbatas hanya kepada pengajaran tentang ritus-ritus dan segi-segi formalitasnya. Hal ini, bukan berarti pengingkaran terhadap pentingnya ritus- ritus dan segi-segi formalistic agama. Jadi pendidikan Islam sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang peserta didik.
Jadi yang menjadi titik tekannya dalam pendidikan agama adalah membangun nilai-nilai ketuhanan; seperti iman, Islam, Ihsan, dan seterusnya, dan nilai-nilai moral; seperti kasih sayang, cinta, toleransi, tenggang rasa, kebajikan, menghargai perbedaan pendapat, dan sikap-sikap kemanuisaan yang mulia lainnya. Materi agamaan di gali melalui nilai-nilai universal dari sebuah agama. Dari tulisan ini, maka menjadi catata penting  adalah  :  Pertama,  menjadikan nilai-nilai pendidikan profetik sebagai upaya untuk menciptakan pendidikan Islam yang penuh cinta, toleransi, tenggang rasa, kebajikan, menghargai perbedaanm  dan  sikap-sikap kemanusiaan lainnya. Kedua, Pendidikan Islam semestinya mewarisi misi kenabian Muhammad sebagai model dalam proses pembelajaran. Yaitu mendasarkan diri pada kesadaran bahwa pendidikan Islam mengajarkan    akan    kearifan ; setiap perilaku manusia didasarkan pada aturan dan tuntunan Tuhan. Ketiga, Ilmu tidak lah semestinya diposisikan secara dikotomis. Semua ilmu, pasti mempunyai nilai-nila universalitas yang luhur. Oleh sebab itu, obektifikasi dalam memandang sebuah ilmu menjadi sangat penting.



B.       SARAN
Saran saya, untuk seluruh pihak yang membaca makalah ini bahwa Untuk memahami nilai-nilai pendidikan profetik, terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian nilai. Istilah nilai memiliki banyak pengertian, tergantung dari sudut pandang mana seseorang memahami. Sosiolog, antropolog, psikolog, ekonom, serta politisi mempunyai persepsi dalam memaknai nilai. Pada intinya, memahami nilai itu bersifat subjektif.


DAFTAR PUSTAKA

  • http://ejournal.uin-suska.ac.id diakses pada tanggal 07/01/2019 pukul 20.30.
  • Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam (terj. Saifullah Mahyudin) (Yogyakarta: Ananda, 1982)
·         Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
·         Happy Susanto, “Menggagas “Sosiologi Profetik”: Sebuah Tinjauan Awal”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003.
·         Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik” dalam Horison, Mei 2005
·         Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik Sebagai Gerakan Intelektual”, Jurnal Mukaddimah (Nomor 7, Tahun V/1999)
  • “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika (19 Agustus 1997)
·         M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998)
  • Drs.H. Abudin nata, Methodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Persada, 2003)
  • M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005)



Komentar