MAKALAH TEORI SOSIAL INDONESIA
Penguatan Ilmu Sosial Indonesia dengan Pendekatan Sosial Profetik
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun Oleh :
M.
Afdhol Mufti Alhakiki 17416241003
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teori Sosial Indonesia.
Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
waktu, bukan karena usaha dari saya selaku penulis, melainkan banyak mendapat
saran dan bantuan dari berbagai pihak dan berbagai sumber. Untuk itu saya
mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu, baik itu dosen
dan semua pihak dan sumber yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu saya selaku
penulis makalah ini mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan tugas saya selanjutnya.
Demikian
saya selaku penulis makalah, mohon maaf bila dalam pembuatan makalah ini ada
hal-hal yang kurang berkenan. Semoga makalah yang saya buat ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.
Yogyakarta,
04 Desember 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................3
B.
Rumusan
Masalah..............................................................................4
C.
Tujuan
Penulisan................................................................................4
D.
Manfaat
Penulisan.............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Penguatan Ilmu Sosial Profetik..........................................................3
B.
Tujuan, Peran, Metode Dan Manfaat Ilmu Sosial Profetik................5
C.
Hubungan Ilmu Sosial Profetik Dan Sosial Kebangsaan Dan
Tokoh Pengagasnya......................................................................................6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................21
B.
Saran.................................................................................................22
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang
mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat
nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara
spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing
masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan
penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan
Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan
setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah
pembebasan. Menurut Ali Syari’ati dalam Hilmy (2008:179) para nabi tidak hanya
mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi
pembebasan.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat
dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan
mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi
perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas
dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya,
terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu seperti hendak memasukan sesuatu
dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada (Kuntowijoyo, 2001: 357).
Selanjutnya, Kuntowijoyo (2001:357) memasukan kata
profetik kedalam penemuannya tentang ilmu-ilmu sosial profetik yang mengandung
tiga muatan ilmu-ilmu sosial yaitu humanisme, leberasi, dan transendensi.
Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan
pada Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya:
Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah-tengah
manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman
kepada Allah
Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu
sosial profetik yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu; 1) Amar Ma’ruf (humanisasi)
mengandung pengertian memanusiakan manusia. 2) Nahi Munkar (liberasi)
mengandung pengertian pembebasan. 3) Tu’minuna Bilah (transendensi),
dimensi keimanan manusia (Rosyadi, 2009:304).
Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan
profetik menurut Kuntowijoyo (2001:360);
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana penguatan ilmu sosial Indonesia?
b.
Bagaimana peran Ilmu Sosial Profetik ?
c.
Bagaimana hubungan antara sosial profetik dan sosial
kebangsaan ?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk menjelaskan lebih mendalam mengenai Penguatan ilmu
sosial profetik di Indonesia
b.
Untuk menjelaskan peran ilmu sosial profetik di
masyarakat
c. Untuk mengetahui gambaran hubungan Sosial
profetik dan sosial kebangsaan
D. Manfaat Penulisan
a. Dapat mengetahui apa itu ilmu sosial profetik
b. Dapat mengetahui peran ilmu sosial profetik di
Indonesia
c. Dapat mengetahui hubungan antara Sosial
profetik dan sosial kebangsaan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGUATAN ILMU SOSIAL
PROFETIK
Konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), yang menjelaskan
bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal
sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Umat Islam tidak secara otomatis
menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The
Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan
ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan
sejarah yang dapat di artikan sebagai sikap bekerja keras dan ber-fastabiqul
khairat ditengah-tengah umat manusia (Ukhrijat Linnas) yang terwujud
dalam sikap partisipatif umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya
pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam.
Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa
dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan.Ketiga,
pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan
rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat,
terutama umat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut
mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu
(mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan
mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah,
umat, kelompok/paguyuban) Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis
dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.
Selanjutnya, Shofan (2004:131) mengungkapkan konseptualisasi pilar-pilar
ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang
berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap
nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang
mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang
dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrikal antara
pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah
secara historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat
dikembangkan dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat
yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo dalam Shofan (2004:135) mengatakan bahwa cita-cita
etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang
mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga
pencapaian cita–cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Artinya
sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai
inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan reorientasi
konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris.
Landasan pendidikan tersebut sekiranya diorientasikan untuk memfasilitasi
terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif
menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan deduktif-induktif idealnya
diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan moral, hal ini
lah konsep dasar sebuah pendidikan profetik yang dibutuhkan pada saat ini.
Sehingga disimpulkan bahwa, pendidikan profetik (Prophetic Teaching)
adalah suatu metode pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi
Muhammad saw. Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan
integrasi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan
landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi
maupun akhirat dapat tercapai.
Sebagai kekuatan pembebas,
Pendidikan Islam berusaha untuk
membangun social capacityyang mengandung makna bahwa
pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena
itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari
pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia
diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi
(Rosyadi,2009:163).
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia
sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di
Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru
membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi
terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai
kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur
atau landasan moral-transendensi.
B.
TUJUAN, PERAN, METODE DAN MANFAAT ILMU SOSIAL
PROFETIK
Hubungan berarti komunikasi,
sangkut paut, sejalan, searah. Agama secara sempit berarti undang-undang atau hukum.
Dalam bahasa Arab berarti menundukkan, patuh menguasai, hutang. Ilmu
pengetahuan secara bahasa yaitu seperangkat ilmu yang tersusun secara
sistematis, dapat dimanfaatkan semua orang pada tempat yang sama maupun berbeda
dengan hasil yang sama. Khurashid Ahmad berpendapat bahwa pengetahuan adalah
seperangkat pengalaman, yang mengatur, memimpin mengarahkan kearah kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Kholiq.
Ilmu sosial adalah ilmu yang berhubungan
dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Termasuk ilmu sosial adalah
seluruh kegiatan masyarakat mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas
untuk kegiatan keperluan sesama manusia. Islam telah tampil sebagai agama yang
memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara
hubungan manusia dengan manusia, antara urusan ibadah dan muammalah dalam arti
luas. Keterkaitan agama dengan kemanusiaan menjadi penting, jika dikaitkan
dengan situasi kemanusiaan pada zaman ini.
Allah berfirman dalam Alqur'an yang artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal."
Ayat diatas menunjukkan bahwa manusia diciptakan
berbeda-beda agar saling mengenal. Mengenal disini berarti
agar antara manusia satu dengan yang lain melakukan hubungan atau bermuamalah,
bekerja sama, saling tolong menolong, serta menciptakan kehidupan sosial yang
baik.
Islam menilai bila urusan ibadah
dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka
Kifartnya (tebusan) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
urusan sosial. Apabila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit dan sulit
diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan Fidyah yaitu memberi makan
orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan
ibadahnya tidak dapat menutupnya. Merampas hak orang lain tidak dapat menghapus
dosanya dengan sholat tahajud. Membunuh orang pada zaman Nabi maka dendanya
ialah memerdekakan budak. Itulah pentingnya ilmu sosial dan sangat erat sekali
dengan agama Islam.
Dalam keadaan demikian kita saat
ini nampaknya sudah mendesak untuk untuk memiliki Ilmu Pengetahuan Sosial yang
mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut diatas. Ilmu
Pengetahuan sosial yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang digali dari
nilai-nilai Agama.
Ilmu sosial mengalami kemandekan
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, dibutuhkn ilmu sosial yng tidak
berhenti pada menjelaskan fenomena sosial, tetapi dapat memecahkan secara
memuaskan. Menurut Kuntowijoyo kita butuh ilmu sosial profetik: yaitu ilmu
sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga
memberi petujuk kearah mana tranformasi itu dilakukan, yaitu ilmu sosial yang
mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Yaitu
yang berdasarkan tiga hal : cita-cita manusia, libersi, dan ketiga
transendensi.
Tujuan pertama ialah memanusiakan
manusia; seperti Industrialisasi yang kini terjadi kadang menjadikan manusia
sebagian dari masyarakat abstrak tanpa wilayah kemanusiaan. Kita menjalani obyektifasi
ketika berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin pasar, manusia telah
menjadi bagian dari sekrup mesin yang tidak lagi menyadari keberadaanya secara
utuh.
Kedua liberasi bertujuan
pembebasan manusia dari kungkungan teknologi, dan memeras kehidupan orang
miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan
manusia dari belenggu yang kita buat sendiri. Ketiga tujuan transendensi adalah
menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Dan yang harus kita lakukan
membersihkan diri dengan meningkatkan kehidupan pada dimensi transendentalnya.
Dengan ilmu sosial profetik kita
di haruskan mempunyai pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari
rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga
dari wahyu. Dengan ilmu sosial yang demikian maka umat islam akan dapat
meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahun yang terjadi saat ini dan
juga meredam berbagai kerusuhan sosial dan tindakan kriminal. Fenomena
kerusuhan tindakan kriminal, bencana kebakaran hutan, penyimpangan sosial, dan
masaalah sosial lainnya bukan masalah yang berdiri sendiri, semua itu merupakn
produk sistem dan pola pikir. Pemecahan terhadp masalah tersebut salah satu
alternatif adalah dengan memberikn nuansa keagamaan pada ilmu sosial. Yang oleh
Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu sosial profetik.
Islam selalu membuka diri
terhadap seluruh warisan kebudayan sejak beberapa abad yang lalu islam mewarisi
peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang hampa hal tersebut dapat
dipahami dari kandungan surat al-maidah ayat 3. kata "telah KU-
sempurnakan agama-mu" mengandung arti bukan membangun dari ruang hampa
melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada. Hal demikian dapat dilihat dari
kenyataan sejarah semua agama dan peradapan mengalami proses meminjam dan
memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Dalam bidang
IPTEK Islam bukanlah agama yang tertutup. Islam adalah paradigma terbuka
sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam mewarisi peradapan yunani dari barat
dan peradaban persia, india, dan cina dari timur. Ketika abad VIII – XV
peradaban barat dan timur tenggelam dan mengalami kemerosotan. Islam bertindak
sebagai pewaris utama kemudian diambil alih oleh barat sekarang. Islam
mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pertahanan
Sasanid dan logika Yunani dsb.
Namun dalam proses penerimaannya
itu terdapat dialektika internal. Mislnya untuk bidang pengkajian tertentu
Islam menolak bagian logika Yunani yang sangat rasional, diganti dengan cara
berfikir yang menekankan rasa seperti yang dikenal dalam Tasawuf. Al-Qur'an
sebagai sumber utama ajaran islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan
dalam setting sosial aktual, respon normatifnya mereflaksikan
kondisi sosial aktual itu. Meskipun jelas bahwa al-Qur'an memiliki cita-cita
sosial tertentu. Bukti sejarah memperlihatkan dengan jelas bahwa sejak
kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka
akomodatif. Serta berdampingan dengan agama, kebudayaan, dan perdaban lainnya.
Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan,
bahkan penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan
gejolak sosial yang membwa korban yang tidak diharapkan. Dengan sifat
karkteristik ajaran islam demikian itu maka melalui ilmu sosial yang berwawasan
profetik Islam siap memasuki era globalisasi yang di tandai dengan adanya
perubahan bidang ekonomi, teknologi, sosial informasi, dsb. Akan dapat diambil
dengan sebaik-baiknya.
Islam mempunyai perhatian dan
kepedulian yang tinggi terhadap masalah sosial. Untuk itu maka kehadiran ilmu
sosial yang hanya membicarakn tentang manusia tersebut dapat diakui oleh Islam.
Namun islam mempunyai pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang dikembngkan
yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran islam dan diarahkan untuk
humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Rosyadi (2009:170) mengungkapkan bahwa selain sebagai pendorong agama dan
ahlak tujuan pendidikan profetik juga mempunyai tujuan khusus yaitu
diantaranya:
1.
Memperkenalkan generasi muda akan
akidah-akidah islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara
melaksanakannya dengan betul, dengan membiasakan mereka berhati-hati, mematuhi
akidah-akidah agama dn serta menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama.
2.
Menumbuhkan kesadaran yang betul
pada pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar ahlak
mulia. Juga membuang bid’ah-bid’ah, khurafat, kepalsuan-kepalsuan, dan
kebiasaan-kebiasaan usang yang melekat kepada islam tanpa disadari, padahal
islam itu bersih.
3.
Menambah keislaman kepada Alla
pencipta alam, juga kepada malaikat, rosul-rosul, kitab-kitab, dan hari akhir
berdasar pada faham kesadaran dan keharusan perasaan.
4.
Menumbuhkan minat generasi muda
untuk menambahkan pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan agar patuh
mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5.
Menanamkan rasa cinta dan
penghargaan kepada al-Qur’an, berhubungan dengannya, membaca dengan baik,
memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6.
Menumbuhkan rasa bangga terhadap
sejarah dan kebudayaan islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak
mereka.
7.
Menumbuhkan rasa rela, optimisme,
kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas
kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, perjuangan untuk
kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air,
serta siap membelanya.
8.
Mendidik naluri, motivasi,
keinginan generasi muda, dan membentengi mereka menahan motivasi-motivasinya,
mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka,
berpegang dengan adab kesopanan pada hubungan dan pergaulan mereka, baik di
rumah, di sekolah, di jalan atau pada lain-lain tempat lingkungan.
9.
Menanamkan iman yang kuat kepada
Allah pada diri mereka, menguatkan perasaan agama, menyuburkan hati mereka
dengan kecintaan, dzikir dan taqwa kepada Allah.
10.
Membersihkan hati mereka dari
dengki, iri hati, benci, kezaliman, egoisme, tipuan, khianat, nifaq, ragu,
perpecahan dan perselisihan.
Dalam rangka mencapai
tujuannya maka pendidikan profetik menggunakan beberapa metode, menurut
Abdurrahman an-Nahlawi (1992) dalam Rosyadi (2009:216), sebagai berikut:
1. Metode Hiwar (percakapan)
Qurani dan Nabawi
Hiwar artinya
percakapan silih berganti antara dua pihak melalui tanya jawab mengenai suatu
topik yang mengarah pada suatu tujuan. Dalam Al Qur’an dan sunnah terdapat lima
jenis hiwar diantaranya:
a. Hiwar
khitabi atau ta’abbudi (percakapan pengabdian).
Dalam hal ini, hiwar
yang dilakukan yaitu dalam bentuk doa, membaca al Qur’an, tasbih, dll.
b. Hiwar
washfi (percakapan deskriptif)
Hiwar ini menjelaskan
bagaimana suatu hal itu terjadi diterangkan secara deskriftif seperti orang
yang masuk surga atau orang yang masuk neraka.
c. Hiwar
qishashi (percakapan berkisah)
Hiwar ini terdapat dalam sebuah kisah yang baik bentuk rangkaian ceritanya
sangat jelas, yaitu hiwar yang merupakan anasir kisah di dalam al Qur’an.
d. Hiwar jadali (percakapan
dialetik)
Hiwar ini melahirkan
sebuah diskusi atau perebatan yang bertujuan untuk memantapkanhujjah kepada
para peserta diskusi. Sehingga implikasinya mendidik anak bersemangat
menegakkan kebenaran, menjauhkan dari sifat-sifat batil, pikiran-pikiran
musyrik dan munkar.
e. Hiwar
nabawi .
Hiwar nabawi ini erat
kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh Rasullulah SAW, karena beliau adalah
salah seorang pendidik yang mahir dan pandai dalam melakukan beberapa metode
pendidikan islam.
Mendidik dengan kisah Qurani dan
Nabawi
Dalam pendidikan
islam, kisah merupakan fungsi edukatif yang tidak dapat dihilangkan atau
diganti dengan bentuk penyampaian lain selain bahasa. Hal ini di sebabkan
karena kisah Qurani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang mempunyai
dampak psikologis dan edukatif.
2. Mendidik
dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
Perumpamaan dalam pendidikan islam sering digunakan biasanya perumpamaan
yang digunakan berasal dari cerita di al Qur’an ataupun dari kisah nabi, misal perumpamaan
seorang yang berbuat baik, maka akan mendapatkan pahala.
3. Mendidik dengan memberi
teladan
Keteladanan adalah sangat penting bagi berlangsungnya suatu proses
pendidikan. Hal ini menekankan kepada setiap pendidik harus berprilaku baik dan
selalu meneladani sifat-sifat rasul sehingga peserta didik pun akan segan dan
akan meneladani sikap.
4. Mendidik dengan
pembiasaan diri dan pengalaman.
Mendidik dengan
latihan dan pengalaman dapat menggugah ahlak yang baik pada jiwa anak didik,
sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam perbuatan dan pekerjaan.
5. Mendidik dengan
mengambil Ibrah (pelajaran) dan mau’izhah (peringatan)
Makna ibrah adalah
suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang
disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati
mengakuinya. Sedangkan, mau’izhah ialah nasehat yang lembut
dapat diterima oleh hati dengan cara mencelaskan pahala atau ancamannya.
6. Mendidik
dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat
takut).
Targhib ialah janji yang
disertai dengan bujukan dan membuat orang senang terhadap suatu maslahat,
kenikmatan atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik, serta bersih dari
segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi
kenikmatan sepintas yang mengandung bahaya atau perbuatan buruk.
Sedangkan, tarhibialah ancaman dengan siksaan sebagai akibat
melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah SWT, atau akibat lengah
dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Sekiranya metode
tersebut dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran akan membuat anak didik
menjadi orang yang berahlakul karimah atau berahlak mulia seperti Rasulluah
SAW.
Sementara itu, menurut
Cecep Darmawan (2006:94), metode dalam pembinaan dan pelatihan karyawan yang
berbasis profetik sebagai berikut:
1. Metode Tilawah
Metode ini memilik
makna membaca. Metode ini diarahkan untuk membaca al Qur’an. Dengan begitu akan
terciptanya pembudayaan membaca al Qur’an.
2. Metode Taklim
Metode ini berartikan
proses pengajaran. Taklim disini dalam arti pemahaman kita dalam proses tranfer
dan tranformasi dari pihak pertama kepada pihak kedua. Sementara itu dalam
konsep pembinaan maka dalam kaitannya pembekalan teori, nilai-nilai, kiat-kiat
sukses, kiat kinerja produktif, aturan, atau tata tertib yang berlaku pada
lingungan perusahaan.
3. Metode Tazkiyyah
Kata tazkiyyah berasal
dari kata “zaka” yang berarti tumbuh kembang atau penyucian. Konsep ini kita
maknai sebagai satu kemampuan memisahkan atau membersihkan. Implikasinya adalah
memberikan pelatihan dan pendidikan kepada karyawan dengan tujuan untuk
melakukan eliminasi perilaku-perilaku buruk.
4. Metode Hikmah
Konsep hikmah,
ditujukan untuk menunjukan pengetahuan filosofis sehingga orang yang berfilsafat
disebut ahli hikmah.
C.
HUBUNGAN ILMU SOSIAL PROFETIK DAN SOSIAL
KEBANGSAAN DAN TOKOH PENGAGASNYA
Dalam Ilmu
Sosial Profetik,
humanisasi artinya
memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,
kekerasan
dan
kebencian dari
manusia. Humanisasi sesuai dengan
semangat liberalisme Barat. Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap
kekuasaan
Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan.
Pandangan
antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia.
Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh
manusia sendiri.
Peradaban
antroposentris menjadikan manusia sebagai
tolok ukur kebenaran
dan kepalsuan,
untuk
memakai manusia sebagai kriteria
keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.
Antroposentrisme menganggap
manusia sebagai pusat
dunia, karenanya merasa
cukup dengan dirinya sendiri.
Manusia antroposentris
merasa menjadi penguasa
bagi dirinya
sendiri. Tidak
hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya
pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang
semakin lama
semakin
tak terkendali.
Dengan
rasio sebagai senjatanya,
manusia antroposentris memulai sejarah
kekuasaan dan eksploitasi
atas alam tanpa batas. Modernisme
dengan panji- panji
rasionalismenya terbukti
menimbulkan kerusakan alam tak
terperikan terhadap alam dan
manusia. Ilmu akal adalah ilmu
perang yang
metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas
oleh
Descartes melalui semboyannya “Cogito
Ergo Sum”.
Melalui ilmu perang Descartes, peradaban
modern menciptakan mesin- mesin
perang terhadap alam berupa
teknologi canggih untuk menaklukkan
dan mengeksploitasi alam tanpa
batas, juga mesin-mesin
perang terhadap manusia
berupa senjata-senjata canggih supermodern,
bom, bahkan juga senjata
pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi,
yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi (Titus, 1990).
Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas
tapi transendensi.
Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam
tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan
negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan
loneliness (privatisasi, individuasi)
(Kuntowijoyo, 1984).
Ilmu Sosial Profetik
tidak hendak menjadikan liberasinya
sebagai
ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi
Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu
yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi
pembebasan dipahami dalam
konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai
liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik
dipahami
dan didudukkan dalam
konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung
jawab profetik untuk membebaskan manusia
dari kekejaman kemiskinan,
pemerasan kelimpahan,
dominasi struktur
yang
menindas dan hegemoni
kesadaran
palsu.
Lebih
jauh, jika marxisme dengan semangat
liberatifnya jutru menolak
agama
yang
dipandangnya konservatif,
Ilmu Sosial Profetik justru mencari
sandaran
semangat liberatifnya pada
nilai-nilai profetik transendental dari
agama
yang telah ditransformasikan menjadi
ilmu yang obyektif-faktual.
Bidikan liberasi ada pada realitas
empiris, sehingga
liberasi sangat peka
dengan persoalan penindasan atau
dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir
dari
ketimpangan ekonomi
adalah bagian
penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan
diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada
realitas kemanusiaan empiris, bersifat
kongkrit. Kuntowijoyo bahkan
menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit
menuju abstrak adalah salah
satu ciri berpikir berdasarkan mitos.
Kuntowijoyo menggariskan
empat sasaran liberasi,
yaitu sistem pengetahuan,
sistem
sosial, sistem
ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia
sehingga tidak
dapat
mengaktualisasikan dirinya
sebagai makhluk yang
merdeka dan mulia (Kuntowijoyo,
1997).
Transendensi
adalah dasar dari humanisasi
dan liberasi. Transendensi memberi
arah
kemana dan untuk tujuan
apa
humanisasi
dan liberasi itu dilakukan.
Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik
di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis
humanisasi dan liberasi, juga
berfungsi sebagai kritik.
Dengan
kritik transendensi,
kemajuan teknik dapat diarahkan untuk
mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik
transendensi,
masyarakat akan
dibebaskan dari kesadaran materialistik-
di mana posisi ekonomi seseorang
menentukan kesadarannya-menuju
kesadaran
transendental.
Transendensi akan menjadi
tolok ukur kemajuan
dan kemunduran manusia.
Dari
tiga pilar diatas, maka Kuntowijoyo menggiring
umat Islam pada orientasi ilmu-ilmu
sosial yang berparadigma Profetik. Dengan
demikian kita dapat menggariskan beberapa hal
Pertama, sosiologi profetik
memiliki tiga nilai penting sebagai
landasannya
yaitu
humanisasi,
liberasi
dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan
memberi arah, bidang atau lapangan
penelitian.
Kedua, secara epistemologis,
sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber
pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini
bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
Ketiga,
secara metodologis sosiologi
profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan
positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim
positivis seperti
klaim bebas nilai dan klaim
bahwa yang
sah sebagai
sumber pengetahuan adalah fakta-fakta
yang terindera. Sosiologi
profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang
hanya menjelaskan
atau
memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi
profetik tidak hanya memahami tapi juga punya
cita-cita transformatif
(liberasi, humanisasi
dan transendensi).
Dalam pengertian ini sosiologi
profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritis (teori kritis). Melalui
liberasi dan humanisasi sosiologi profetik
selaras dengan
kepentingan
emansipatoris
sosiologi kritis. Bedanya sosiologi
profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan
humanisasi.
Keempat, sosiologi profetik
memiliki keberpihakan
etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material
(structure) (Kuntowijoyo,
1991).
Barangkali yang menyebabkan
Sosiologi Profetik menjadi problematis
dan kontroversial adalah posisi
epistemologisnya yang
juga mengakui wahyu sebagai bagian sah dari sumber
pengetahuan. Kontroversial,
karena ilmu sosial modern sudah terlanjur
mencampakkan wahyu dalam kategori
mitos atau metafisika yang tidak
mempunyai dasar empiris.
Problematis,
karena ide ini dapat saja serta merta dipahami oleh
para penganutnya dalam perspektif
teologis- normatif, sehingga kita akan susah
membedakan mana sosiologi mana teologi, mana empiris mana
normatif.
Hubungan antara nilai
dengan pendidikan sangat erat.
Nilai dilibatkan dalam
setiap tindakan pendidikan, baik dalam
memilih maupun dalam memutuskan setiap hal
untuk kebutuhan belajar. Melalui
persepsi nilai, pendidik
dapat
mengevaluasi peserta didik. Demikian pula peserta didik dapat mengukur
kadar nilai
yang
disajikan pendidik dalam
proses pembelajaran.
Masyarakat juga dapat
merujuk sejumlah nilai (benar-salah,
baik-buruk, indah-
tidak indah) ketika mereka mempertimbangkan kelayakan pendidikan yang
dialami
anaknya.
Lembaga
pendidikan memiliki
tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas
dan berakhlak mulia. Terpenuhinya kedua kriteria itu memungkinkan terwujudnya nilai
kehidupan sosial yang ideal, yang memiliki
semangat kebersamaan,
menghindari konflik sosial, mengembangkan
potensi diri, dan memanfaatkannya
untuk mencapai kebahagiaan
lahir dan batin, serta
keselamatan
umat manusia pada umumnya (Fadjar,
1999).
Hal tersebut menunjukkan bahwa
peran pendidikan dalam pembentukan dan
penanaman nilai terhadap peserta
didik sangat menentukan kehidupan mereka.
Tanpa pendidikan, nilai sangat
sulit untuk ditemukan atau didapatkan.
Oleh karena itu,
fungsi pendidikan adalah
untuk menanamkan nilai-nilai (yang
baik) kepada peserta didik (bukan hanya transfer
pengetahuan) sebagaimana yang popular selama ini.
Pengetahuan
tanpa memahami nilai
cenderung melahirkan konflik, baik antar-kelompok agama, budaya, wilayah,
maupun antar-institusi.
Konflik-konflik
yang muncul di tanah air akhir-akhir ini sangat terkait dengan
aspek sosial, budaya, dan agama. Menurut
penulis, hal ini disebabkan
lemahnya peran pendidikan yang menanamkan
nilai kebersamaan
dan solidaritas sosial dalam era pluralitas.
Untuk memahami nilai-nilai pendidikan profetik, terlebih dahulu
penulis kemukakan pengertian nilai. Istilah nilai memiliki banyak pengertian, tergantung dari sudut pandang mana
seseorang memahami. Sosiolog, antropolog, psikolog, ekonom, serta politisi mempunyai persepsi dalam memaknai nilai.
Pada intinya, memahami nilai
itu bersifat subjektif. Dalam
tulisan ini, nilai diartikan
sebagai penentu seseorang dalam melakukan suatu tindakan yang
positif atau
nilai dapat juga disebut perilaku
moral.
Nilai adalah rujukan dan keyakinan
dalam
menentukan suatu pilihan (Mulyana, 2004). Oleh karena
nilai
sebagai rujukan dalam bertindak,
maka setiap orang harus
memperhatikan lebih mendalam agar hati-hati dan
berpikir rasional sebelum mengambil tindakan.
Seseorang yang bertindak
tanpa dasar rujukan yang kuat dapat dianggap tidak
memiliki dan memahami nilai moral.
Menurut
Judy Lawly (2000), nilai merupakan pedoman kepercayaan
yang mendalam mengenai suatu hal yang penting. Nilai
secara langsung mempengaruhi
perilaku dan tertanam
kuat dalam kebudayaan masyarakat dan latar
belakang keluarga.
Schwartz (2002) mendefinisikan “values as goals and motivations which serve as
guiding principles in
people’s lives”. Artinya,
nilai sebagai tujuan dan motivasi yang
berperan sebagai
prinsip-prinsip petunjuk dalam kehidupan manusia. Apabila nilai telah mempribadi dalam kehidupan seseorang, maka akan tampak dalam pola-pola sikap,
niat
dan perilakunya.
Sedangkan
menurut Merril (dalam
Koyan, 2000), nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang atau
kelompok ke
arah “satisfaction,fulfillment, and
meaning”.
Patokan, kriteria, prinsip- prinsip,
dan ukuran yang memberi dasar pertimbangan kritis tentang
pengertian, estetika,
kewajiban moral, dan
religius.
Jadi, nilai-nilai pendidikan adalah
nilai-nilai yang harus ditanamankan dan
dikemmbangkan pada diri seseorang. Mardiatmaja mengemukakan nilai-nilai
pendidikan sebagai
bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara
integral dalam keseluruhan
hidupnya.
Dengan demikian, nilai-nilai
pendidikan tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata
pelajaran,
tetapi
mencakup pula keseluruhan proses
pendidikan. Dalam hal ini, yang menanamkan
nilai kepada peserta didik
bukan saja guru pendidikan nilai dan
moral
serta bukan saja pada saat
mengajarkannya, melainkan
kapan
dan di manapun, nilai harus
menjadi bagian integral
dalam
kehidupan.
Dari definisi di atas
dapat ditarik
suatu
definisi nilai-nilai pendidikan mencakup
keseluruhan aspek pengajaran
atau
bimbingan kepada peserta
didik agar memiliki
modal nilai yang menjadi prinsip
dan
petunjuk dalam
kehidupannya. Dengan demikian, mereka
menyadari nilai kebenaran, kebaikan,
kebersamaan, dan keindahan
melalui proses pertimbangan nilai yang
tepat dan pembiasaan bertindak yang
konsisten.
Penekanannya terletak pada
peran pendidikan sebagai transformasi nilai
sehingga menjadi bagian yang integral dalam
diri peserta didik.
Dengan memiliki nilai moral,
maka segala tindakan peserta didik akan terkontrol karena
dilakukan dengan pertimbangan
nilai yang matang.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan Islam sebenarnya
tidak terbatas hanya kepada pengajaran
tentang ritus-ritus dan segi-segi formalitasnya. Hal ini, bukan berarti pengingkaran terhadap pentingnya ritus- ritus
dan
segi-segi formalistic agama. Jadi pendidikan Islam sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total
seorang peserta didik.
Jadi yang menjadi titik tekannya dalam pendidikan agama adalah
membangun nilai-nilai ketuhanan; seperti iman, Islam,
Ihsan, dan seterusnya, dan nilai-nilai moral; seperti kasih sayang, cinta, toleransi,
tenggang rasa,
kebajikan,
menghargai perbedaan pendapat, dan
sikap-sikap kemanuisaan yang mulia
lainnya. Materi agamaan di gali melalui nilai-nilai universal dari
sebuah agama.
Dari tulisan ini, maka menjadi
catata
penting adalah :
Pertama, menjadikan nilai-nilai
pendidikan profetik sebagai
upaya untuk menciptakan pendidikan Islam yang
penuh cinta, toleransi, tenggang rasa,
kebajikan, menghargai
perbedaanm dan sikap-sikap
kemanusiaan lainnya. Kedua, Pendidikan Islam semestinya mewarisi misi kenabian Muhammad sebagai model dalam proses
pembelajaran. Yaitu mendasarkan diri pada kesadaran bahwa
pendidikan Islam mengajarkan
akan kearifan ; setiap
perilaku manusia didasarkan pada
aturan dan tuntunan Tuhan. Ketiga, Ilmu tidak lah
semestinya diposisikan secara dikotomis. Semua ilmu,
pasti mempunyai nilai-nila universalitas yang luhur. Oleh sebab
itu, obektifikasi dalam memandang sebuah ilmu menjadi sangat penting.
B.
SARAN
Saran saya, untuk seluruh pihak
yang membaca makalah ini bahwa Untuk memahami
nilai-nilai
pendidikan profetik, terlebih dahulu
penulis kemukakan pengertian nilai. Istilah nilai memiliki banyak pengertian, tergantung dari sudut pandang mana
seseorang memahami. Sosiolog, antropolog, psikolog, ekonom, serta politisi mempunyai persepsi dalam memaknai nilai.
Pada intinya, memahami nilai
itu bersifat subjektif.
DAFTAR PUSTAKA
- http://ejournal.uin-suska.ac.id diakses pada tanggal
07/01/2019 pukul 20.30.
- Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam
(terj. Saifullah Mahyudin) (Yogyakarta: Ananda, 1982)
·
Malik Fadjar, Reorientasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
·
Happy Susanto, “Menggagas
“Sosiologi Profetik”: Sebuah Tinjauan Awal”, dalam Jurnal Pemikiran Islam
Vol.1, No.2, Juni 2003.
·
Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik”
dalam Horison, Mei 2005
·
Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam:
Ilmu Sosial Profetik Sebagai Gerakan Intelektual”, Jurnal Mukaddimah (Nomor 7,
Tahun V/1999)
- “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika
(19 Agustus 1997)
·
M. Amien Rais, Tauhid Sosial:
Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998)
- Drs.H. Abudin nata, Methodologi Studi Islam (Jakarta:
Rajawali Persada, 2003)
- M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri
Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005)
Komentar
Posting Komentar